KERAJAAN KANDIS “ATLANTIS NUSANTARA”
ANTARA CERITA DAN FAKTA
(Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)
ANTARA CERITA DAN FAKTA
(Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia)
RINGKASAN
Nenek
moyang bangsa Indonesia diduga kuat oleh para Arkeolog adalah ras Austronesia.
Ras ini mendarat di Kepulauan Nusantara, dan memulai peradaban neolitik. Bukti
arkeologi menunjukkan bahwa budaya neolitik dimulai sekitar 5000 tahun lalu di
kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan budaya baru ini bukti antropologi
menunjukkan muncul juga manusia dengan ciri fisik Mongoloid. Populasi Mongoloid
ini menyebar di kawasan Nusantara sekitar 5000 sampai 3000 tahun lalu dengan
membawa bahasa Austronesia dan teknologi pertanian.
Di
Nusantara saat ini paling tidak terdapat 50 populasi etnik Mongoloid yang
mendiaminya. Budaya dan bahasa mereka tergolong dalam satu keluarga atau filum
bahasa, yaitu bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari
satu nenek moyang. Lalu dari manakah populasi Austronesia ini berasal dan
daerah manakah pertama kalinya mereka huni di Nusantara ini? Sebuah pertanyaan
yang belum terjawab oleh riset sejarah selama ini. Salah satu pendekatan yang
dapat dilakukan adalah pengkajian dan analisis yang komprehensif tentang bukti
sejarah yang ada dan menelusuri hubungan historis suatu daerah dengan daerah
lainnya. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan cerita/tombo yang ada di
masyarakat dan penelusuran fakta yang mendukung tombo tersebut.
Kerajaan tertua di Pulau Jawa berdasarkan bukti arkeologis adalah kerajaan Salakanegara dibangun abad ke-2 Masehi yang terletak di Pantai Teluk Lada, Pandeglang Banten. Diduga kuat mereka berimigrasi dari Sumatra. Sedangkan Kerajaan tertua di Sumatra adalah kerajaan Melayu Jambi (Chu-po), yaitu Koying (abad 2 M), Tupo (abad ke 3 M), dan Kuntala/Kantoli (abad ke 5 M). Menurut cerita/tombo adat Lubuk Jambi yang diwarisi dari leluhur mengatakan bahwa disinilah lubuk (asal) orang Jambi, oleh karena itu daerah ini bernama Lubuk Jambi. Dalam tombo juga disebutkan di daerah ini terdapat sebuah istana kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Istana itu dinamakan istana Dhamna, berada di puncak bukit yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Penelusuran peninggalan kerajaan ini telah dilakukan selama 7 bulan (September 2008-April 2009), dan telah menemukan lokasi, artefak, dan puing-puing yang diduga kuat sebagai peninggalan Kandis dengan ciri-ciri lokasi mirip dengan sketsa Plato (347 SM) tentang Atlantis. Namun penemuan ini perlu dilakukan penelitian arkeologis lebih lanjut.
PENDAHULUAN
Nusantara merupakan sebutan untuk negara kepulauan
yang terletak di kepulauan Indonesia saat ini. Catatan bangsa Tionghoa
menamakan kepulauan ini dengan Nan-hai yang berarti Kepulauan Laut Selatan.
Catatan kuno bangsa India menamainya Dwipantara yang berarti Kepulauan Tanah
Seberang, yang diturunkan dari kata Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar,
seberang) dan disebut juga dengan Swarnadwiva (pulau emas, yaitu Sumatra
sekarang). Bangsa Arab menyebut daerah ini dengan Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan
Jawa).
Migrasi
manusia purba masuk ke wilayah Nusantara terjadi para rentang waktu antara
100.000 sampai 160.000 tahun yang lalu sebagai bagian dari migrasi manusia
purba “out of Africa“. Ras Austolomelanesia (Papua) memasuki kawasan ini ketika
masih bergabung dengan daratan Asia kemudian bergerak ke timur, sisa
tengkoraknya ditemukan di gua Braholo (Yogyakarata), gua Babi dan gua Niah
(Kalimantan). Selanjutnya kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, perpindahan
besar-besaran masuk ke kepulauan Nusantara (imigrasi) dilakukan oleh ras
Austronesia dari Yunan dan mereka menjadi nenek moyang suku-suku di wilayah
Nusantara bagian barat. Mereka datang dalam 2 gelombang kedatangan yaitu
sekitar tahun 2.500 SM dan 1.500 SM (Wikipedia, 2009).
Bangsa nenek moyang ini telah memiliki peradaban yang
cukup baik, mereka paham cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan
astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta
memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad
akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang
lebih maju (kerajaan).
Kepulauan Nusantara saat ini paling tidak ada 50
populasi etnik yang mendiaminya, dengan karakteristik budaya dan bahasa
tersendiri. Sebagian besar dari populasi ini dengan cirri fisik Mongoloid,
mempunyai bahasa yang tergolong dalam satu keluarga atau filum bahasa. Bahasa
mereka merupakan bahasa-bahasa Austronesia yang menunjukkan mereka berasal dari
satu nenek moyang. Sedangkan di Indonesia bagian timur terdapat satu populasi
dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua.
Pusat
Arkeologi Nasional telah berhasil meneliti kerangka berumur 2000-3000 tahun,
yaitu penelitian DNA purba dari situs Plawangan di Jawa Tengah dan Gilimanuk
Bali. Penelitian itu menunjukkan bahwa manusia Indonesia yang hidup di kedua
situs tersebut telah berkerabat secara genetik sejak 2000-3000 tahun lalu. Pada
kenyataannya hingga sekarang populasi manusia Bali dan Jawa masih memiliki
kekerabatan genetik yang erat hingga sekarang.
Hasil penelitian Alan Wilson tentang asal usul manusia
di Amerika Serikat (1980-an) menunjukkan bahwa manusia modern berasal dari
Afrika sekitar 150.000-200.000 tahun lampau dengan kesimpulan bahwa hanya ada
satu pohon filogenetik DNA mitokondria, yaitu Afrika. Hasil penelitian ini
melemahkan teori bahwa manusia modern berkembang di beberapa penjuru dunia
secara terpisah (multi origin). Oleh karena itu tidak ada kaitannya manusia
purba yang fosilnya ditemukan diberbagai situs di Jawa (homo erectus, homo
soloensis, mojokertensis) dan di Cina (Peking Man) dengan perkembangan manusia
modern (homo sapiens) di Asia Timur. Manusia purba ini yang hidup sejuta tahun
yang lalu merupakan missing link dalam evolusi. Saat homo sapiens mendarat di
Kepulauan Nusantara, pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan masih tergabung dengan
daratan Asia sebagai sub-benua Sundaland. Sedangkan pulau Papua saat itu masih
menjadi satu dengan benua Australia sebagai Sahulland.
Teori kedua yang bertentangan dengan teori imigrasi
Austronesia dari Yunan dan India adalah teori Harry Truman. Teori ini
mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Austronesia berasal dari dataran
Sunda-Land yang tenggelam pada zaman es (era pleistosen). Populasi ini
peradabannya sudah maju, mereka bermigrasi hingga ke Asia daratan hingga ke
Mesopotamia, mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. Pendapat
ini diperkuat oleh Umar Anggara Jenny, mengatakan bahwa Austronesia sebagai
rumpun bahasa yang merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia.
Rumpun ini memiliki sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa
yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa
tersebut kini dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang. Pendapat Umar Anggara
Jenny dan Harry Truman tentang sebaran dan pengaruh bahasa dan bangsa
Austronesia ini juga dibenarkan oleh Abdul Hadi WM (Samantho, 2009).
Teori awal peradaban manusia berada di dataran Paparan
Sunda (Sunda-Land) juga dikemukan oleh Santos (2005). Santos menerapkan
analisis filologis (ilmu kebahasaan), antropologis dan arkeologis. Hasil
analisis dari reflief bangunan dan artefak bersejarah seperti piramida di
Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban Maya dan Aztec, peninggalan
peradaban Mohenjodaro dan Harrapa, serta analisis geografis (seperti luas
wilayah, iklim, sumberdaya alam, gunung berapi, dan cara bertani) menunjukkan
bahwa sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia ialah bentuk yang diadopsi
oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun Santos menyimpulkan bahwa Sunda
Land merupakan pusat peradaban yang maju ribuan tahun silam yang dikenal dengan
Benua Atlantis.
Dari kedua teori tentang asal usul manusia yang
mendiami Nusantara ini, benua Sunda-Land merupakan benang merahnya. Pendekatan
analisis filologis, antropologis dan arkeologis dari kerajaan Nusantara kuno
serta analisis hubungan keterkaitan satu dengan lainnya kemungkinan besar akan
menyingkap kegelapan masa lalu Nusantara. Penelitian ini bertujuan untuk
menelusuri peradaban awal Nusantara yang diduga adalah kerajaan Kandis.
TINJAUAN PUSTAKA
Nusantara dalam Lintasan Sejarah
Kepulauan Nusantara telah melintasi sejarah
berabad-abad lamanya. Sejarah Nusantara ini dapat dikelompokkan menjadi lima
fase, yaitu zaman pra sejarah, zaman Hindu/Budha, zaman Islam, zaman Kolonial,
dan zaman kemerdekaan. Kalau dirunut perjalanan sejarah tersebut zaman
kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas dan
tidak perlu diperdebatkan. Zaman Hindu/Budha juga telah ditemukan bukti sejarah
walaupun tidak sejelas zaman setelahnya. Zaman sebelum Hindu/Budha masih dalam
teka-teki besar, maka dalam menjawab ketidakjelasan ini dapat dilakukan dengan
analisa keterkaitan antar kerajaan. Dalam catatan sejarah terdapat informasi
yang terputus antara zaman pra sejarah dengan zaman Hindu/Budha. Peradaban
Nusantara kuno bermula di Sumatra bagian tengah dan ujung barat pulau Jawa.
Dari abad ke-1 sampai abad ke-4 daerah yang dihuni meliputi Jambi (kerajaan
Melayu Tua), Lampung (Kepaksian Skala Brak Kuno), dan Banten
(kerajaan Salakanegara). Untuk mengetahui peradaban awal Nusantara
kemungkinan besar dapat diketahui melalui analisa keterkaitan tiga kerajaan
tersebut.
Kerajaan Melayu Tua di Jambi
Di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua
yaitu, Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan
Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang
adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi
T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin
dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying
terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara
Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen.
Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami
pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan kulit
berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Melihat warna
kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan termasuk rumpun
Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera
(Wikipedia, 2009).
Menurut data Cina Koying telah melakukan perdagangan
dalam abad ke 3 M juga di Pasemah wilayah Sumatra Selatan dan Ranau wilayah
Lampung telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan
oleh Tonkin atau Tongkin dan Vietnam atau Fu-nan dalam abad itu juga. Malahan
keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) di temukan di
wilayah Sumatera tertentu.Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di
Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara
digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying
tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo atau Thu-po, Tchu-po,
Chu-po dan kedudukannya di muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang
demikian yakni Muara Sabak Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa dan Muara Tembesi atau
Fo-ts’I, San-fo-tsi’, Che-li-fo-che sebelum seroang sampai di Jambi Tchan-pie,
Sanfin, Melayur, Moloyu, Malalyu. Dengan demikian seolah-olah perpindahan
Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti
pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai
terutama Batang Tembesi. Hubungan dagang secara langsung terjadi dalam perdagangan
dengan negeri-negeri di luar di sekitar Teluk Wen dan Selat Malaka maka besar
kemungkinan negeri Koying berada di sekitar Alam Kerinci.
Keberadaan Koying yang pernah dikenal di manca negara
sampai abad ke 5 M sudah tidak kedengaran lagi. Diperkirakan setelah Koying
melepaskan kekuasaanya atas kerajaan Kuntala, kejayaan pemerintahan Koying
secara perlahan-lahan menghilang. Koying yang selama ini tersohor sebagai salah
satu negara nusantara pemasok komoditi perdagangan manca negara sudah tidak
disebut-sebut lagi. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak dialami Koying saja,
karena kerajaan lain pun yang pernah jaya semasa itu banyak pula yang mengalami
nasib yang sama. Namun yang jelas, di wilayah Alam Kerinci sebelum atau sekitar
permulaan abad masehi telah terdapat sebuah pemerintahan berdaulat yang diakui
keberadaanya oleh negeri Cina yang disebut dengan negeri Koying atau kerajaan
Koying.
Kerajaan Kepaksian Sekala Brak
Sekala Brak adalah sebuah kerajaandi kaki Gunung
Pesagi (gunung tertinggi di Lampung) yang menjadi cikal-bakal suku bangsa/etnis
Lampung saat ini. Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah
Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang
secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran
Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti
aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way
Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga
meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten.
Dalam catatan Kitab Tiongkok kuno yang disalin oleh
Groenevelt kedalam bahasa Inggris bahwa antara tahun 454 dan 464 Masehi
disebutkan kisah sebuah Kerajaan Kendali yang terletak di antara pulau Jawa dan
Kamboja. Hal ini membuktikan bahwa pada abad ke 3 telah berdiri Kerajaan Sekala
Brak Kuno yang belum diketahui secara pasti kapan mulai berdirinya. Kerajaan
Sekala Brak menjalin kerjasama perdagangan antar pulau dengan Kerajaan Kerajaan
lain di Nusantara dan bahkan dengan India dan Negeri Cina.
Kerajaan Salakanegara
Kerajaan Salakanagara (Salaka=Perak) atau Rajatapura
termasuk kerajaan Hindu. Ceritanya atau sumbernya tercantum pada Naskah
Wangsakerta. Kerajaan ini dibangun tahun 130 Masehi yang terletak di pantai
Teluk Lada (wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten). Raja pertamanya yaitu
Dewawarman yang memiliki gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Rakja Gapura
Sagara yang memerintah sampai tahun 168 M.
Dalam Babad
suku Sunda, Kota Perak ini sebelumnya diperintah oleh tokoh Aki Tirem Sang Aki
Luhur Mulya atau Aki Tirem, waktu itu kota ini namanya Pulasari. Aki Tirem
menikahkan putrinya yang bernama Pohaci Larasati dengan Dewawarman. Dewawarman
ini sebenarnya Pangeran yang asalnya dari negri Palawa di India Selatan. Daerah
kekuasaan kerajaan ini meliputi semua pesisir selat Sunda yaitu pesisir
Pandeglang, Banten ke arah timur sampai Agrabintapura (Gunung Padang, Cianjur),
juga sampai selat Sunda hingga Krakatau atau Apuynusa (Nusa api) dan sampai
pesisir selatan Swarnabumi (pulau Sumatra). Ada juga dugaan bahwa kota Argyre
yang ditemukannya Claudius Ptolemalus tahun 150 M itu kota Perak atau
Salaknagara ini. Dalam berita Cina dari dinasti Han, ada catatan dari raja
Tiao-Pien (Tiao=Dewa, Pien=Warman) dari kerajaan Yehtiao atau Jawa, mengirim
utusan/duta ke Cina tahun 132 M.
Mitologi Minangkabau
Mitologi Minangkabau
Orang Minangkabau mengakui bahwa mereka merupakan
keturunan Raja Iskandar Zulqarnaen (Alexandre the Great) Raja Macedonia yang
hidup 354-323 SM. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia.
Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan
barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat
dengan kebudayaan timur.Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain
mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo.
Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), Maharajo Dipang menjadi
raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).Kalau
kita melihat kalimat-kalimat tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan
pai ka banda Ruhum, nan surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan
surang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala,
ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang
pergi ke negeri Ruhum (Eropa), yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke
negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau
Sumatera).
Dalam versi lain diceritakan, seorang penguasa di
negeri Ruhum (Rum) mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Iskandar
Zulkarnain menikah dengan putri tersebut. Dengan putri itu Iskandar mendapat
tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja Depang, dan Maharaja Diraja.
Setelah ketiganya dewasa Iskandar berwasiat kepada ketiga putranya sambil
menunjuk-nunjuk seakan-akan memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus
berangkat melanjutkan kekuasaannya. Kepada Maharaja Alif ditunjuk kearah Ruhum,
Maharaja Depang negeri Cina, Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara).
Setelah Raja Iskandar wafat, ketiga putranya berangkat
menuju daerah yang ditunjukkan oleh ayahnya. Maharaja Diraja membawa mahkota
yang bernama “mahkota senggahana”, Maharaja Depang membawa senjata bernama
“jurpa tujuh menggang”, Maharaja Alif membawa senjata bernama “keris sempana
ganjah iris” dan lela yang tiga pucuk. Sepucuk jatuh ke bumi dan sepucuk
kembali ke asalnya jadi mustika dan geliga dan sebuah pedang yang bernama
sabilullah.
Berlayarlah bahtera yang membawa ketiga orang putra
itu ke arah timur, menuju pulau Langkapuri. Setibanya di dekat pulau Sailan
ketiga saudara itu berpisah, Maharaja Depang terus ke Negeri Cina, Maharaja
Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja melanjutkan pelayaran ke
tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri atau disebut juga dengan
Pulau Emas (Andalas atau Sumatra sekarang). Setelah lama berlayar kelihatanlah
puncak gunung merapi sebesar telur itik, maka ditujukan bahtera kesana dan
berlabuh didekat puncak gunung itu. Seiring menyusutnya air laut mereka
berkembang di sana.
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka
tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan
petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali,
sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan
tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan
tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada
sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo
tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak
mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran
nama-nama rajanya.
Mitologi Lubuk Jambi[2]
Pulau Perca adalah salah satu sebutan dari nama Pulau
Sumatera sekarang. Pulau ini telah berganti-ganti nama sesuai dengan
perkembangan zaman. Diperkirakan pulau ini dahulunya merupakan satu benua yang
terhampar luas di bagian selatan belahan bumi. Karena perubahan pergerakan
kulit bumi, maka ada benua-benua yang tenggelam ke dasar lautan dan timbul
pulau-pulau yang berserakan. Pulau Perca ini timbul terputus-putus berjejer
dari utara ke selatan yang dibatasi oleh laut. Pada waktu itu Pulau Sumatera
bagaikan guntingan kain sehingga pulau ini diberi nama Pulau Perca. Pulau
Sumatera telah melintasi sejarah berabad-abad lamanya dengan beberapa kali
pergantian nama yaitu: Pulau Perca, Pulau Emas (Swarnabumi), Pulau Andalas dan
terakhir Pulau Sumatra.
Pulau Perca terletak berdampingan dengan Semenanjung
Malaka yang dibatasi oleh Selat Malaka dibagian Timur dan Samudra Hindia
sebelah barat sebagai pembatas dengan Benua Afrika. Pulau Perca berdekatan
dengan Semenanjung Malaka, maka daerah yang dihuni manusia pertama kalinya
berada di Pantai Timur Pulau Perca karena lebih mudah dijangkau dari pada
Pantai bagian barat. Pulau Perca yang timbul merupakan Bukit Barisan yang
berjejer dari utara ke selatan, dan yang paling dekat dengan Semenanjung Malaka
adalah Bukit Barisan yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi sekarang,
tepatnya adalah Bukit Bakau yang bertalian dengan Bukit Betabuh dan Bukit
Selasih (sekarang berada dalam wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah
Tunggal, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau),
sedangkan daratan yang rendah masih berada di bawah permukaan laut.
Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari
keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar
Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja
berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke
Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas,
Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan
dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah
ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang
jernih.
Maharaja Diraja sesampainya di Bukit Bakau
membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Putra
Maharaja Diraja bernama Darmaswara dengan gelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra
Mahkota Maharaja Diraja) dan gelar lainnya adalah Datuk Rajo Tunggal (lebih
akrab dipanggil). Datuk Rajo Tunggal memiliki senjata kebesaran yaitu keris
berhulu kepala burung garuda yang sampai saat ini masih dipegang oleh Danial
gelar Datuk Mangkuto Maharajo Dirajo (sampai saat
ini keris tersebut masih ada, dan disimpan dengan baik oleh empunya/ Saya
sendiri (http://www.riaudailyphoto.com
memiliki gambar keris tersebut). Datuk Rajo Tunggal menikah dengan putri yang cantik
jelita yang bernama Bunda Pertiwi. Bunda Pertiwi bersaudara dengan Bunda Darah
Putih. Bunda Darah Putih yang tua dan Bunda Pertiwi yang bungsu. Setelah
Maharaja Diraja wafat, Datuk Rajo tunggal menjadi raja di kerajaan Kandis.
Bunda Darah Putih dipersunting oleh Datuk Bandaro Hitam. Lambang kerajaan
Kandis adalah sepasang bunga raya berwarna merah dan putih.
Kehidupan
ekonomi kerajaan Kandis ini adalah dari hasil hutan seperti damar, rotan, dan
sarang burung layang-layang, dan dari hasil bumi seperti emas dan perak. Daerah
kerajaan Kandis kaya akan emas, sehingga Rajo Tunggal memerintahkan untuk
membuat tambang emas di kaki Bukit Bakar yang dikenal dengan tambang titah,
artinya tambang emas yang dibuat berdasarkan titah raja. Sampai saat ini bekas
peninggalan tambang ini masih dinamakan dengan tambang titah.
Hasil hutan dan hasil bumi Kandis diperdagangkan ke
Semenanjung Melayu oleh Mentri Perdagangan Dt. Bandaro Hitam dengan memakai
ojung atau kapal kayu. Dari Malaka ke Kandis membawa barang-barang kebutuhan
kerajaan dan masyarakat. Demikianlah hubungan perdagangan antara Kandis dan
Malaka sampai Kandis mencapai puncak kejayaannya. Mentri perdagangan Kerajaan
Kandis yang bolak-balik ke Semenanjung Malaka membawa barang dagangan dan
menikah dengan orang Malaka. Sebagai orang pertama yang menjalin hubungan
perdagangan dengan Malaka dan meninggalkan cerita Kerajaan Kandis dengan Istana
Dhamna kepada anak istrinya di Semenanjung Melayu
.
Dt. Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana.
Pada puncak kejayaannya terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan Raja yang
ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa
mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakar ke tempat lain
di antaranya ke Bukit Selasih dan akhirnya berdirilah kerajaan Kancil Putih di
Bukit Selasih tersebut.
Air laut semakin surut sehingga daerah Kuantan makin
banyak yang timbul. Kemudian berdiri pula kerajaan Koto Alang di Botung (Desa
Sangau sekarang) dengan Raja Aur Kuning sebagai Rajanya. Penyebaran penduduk
Kandis ini ke berbagai tempat yang telah timbul dari permukaan laut, sehingga
berdiri juga Kerajaan Puti Pinang Masak/Pinang Merah di daerah Pantai (Lubuk
Ramo sekarang). Kemudian juga berdiri Kerajaan Dang Tuanku di Singingi dan
kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (Singingi Hilir sekarang).
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru, maka
mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang akhirnya timbul peperangan
antar kerajaan. Kerajaan Koto Alang memerangi kerajaan Kancil Putih, setelah
itu kerajaan Kandis memerangi kerajaan Koto Alang dan dikalahkan oleh Kandis.
Kerajaan Koto Alang tidak mau diperintah oleh Kandis, sehingga Raja Aur Kuning
pindah ke daerah Jambi, sedangkan Patih dan Temenggung pindah ke Merapi.
Kepindahan Raja Aur Kuning ke daerah Jambi menyebabkan Sungai yang mengalir di
samping kerajaan Koto Alang diberi nama Sungai Salo, artinya Raja Bukak Selo
(buka sila) karena kalah dalam peperangan. Sedangkan Patih dan Temenggung lari
ke Gunung Merapi (Sumatra Barat) di mana keduanya mengukir sejarah Sumatra
Barat, dengan berganti nama Patih menjadi Dt. Perpatih nan Sabatang dan
Temenggung berganti nama menjadi Dt. Ketemenggungan.
Tidak lama kemudian, pembesar-pembesar kerajaan Kandis
mati terbunuh diserang oleh Raja Sintong dari Cina belakang, dengan
ekspedisinya dikenal dengan ekspedisi Sintong. Tempat berlabuhnya kapal Raja
Sintong, dinamakan dengan Sintonga. Setelah mengalahkan Kandis, Raja Sintong
beserta prajuritnya melanjutkan perjalanan ke Jambi. Setelah kalah perang
pemuka kerajaan Kandis berkumpul di Bukit Bakar, kecemasan akan serangan musuh,
maka mereka sepakat untuk menyembunyikan Istana Dhamna dengan melakukan sumpah.
Sejak itulah Istana Dhamna hilang, dan mereka memindahkan pusat kerajaan Kandis
ke Dusun Tuo (Teluk Kuantan sekarang).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dikelompkkan menjadi dua, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri
dari mengumpulkan cerita/tombo/mitologi di daerah Lubuk Jambi dengan
melakukan wawancara dengan pemangku adat setempat. Kemudian melakukan analisis
topografi untuk mencari titik lokasi yang diduga kuat sebagai lokasi kerajaan.
Tahap berikutnya adalah melakukan ekspedisi/pencarian lokasi. Penelitian
lanjutan adalah penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran cerita/tombo.
Data yang didapatkan di lokasi dianalisis dan dicari keterkaitannya dengan
bukti sejarah dan cerita di daerah sekitarnya (Jambi dan Minangkabau).
Penelitian pendahuluan mulai dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai
April 2009, sementara penelitian lanjutan belum dilaksanakan karena
keterbatasan sumberdaya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lokasi Kerajaan Kandis
Analisis
topografi yang dilakukan pada peta satelit yang diambil dari google earth,
ditemukan lokasi yang dicirikan di dalam tombo/cerita (bukit yang dikelilingi
oleh sungai). Daerah tersebut berada pada titik 0042’58 LS dan 101020’14 BT
(Gambar 1) atau berada hampir di titik tengah pulau Sumatra (perbatasan Sumatra
Barat dan Riau). Lokasinya berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi, oleh
pemerintah dijadikan sebagai kawasan hutan lindung yang dinamakan dengan hutan
lindung Bukit Betabuh. Jarak lokasi dari jalan lintas tengah Sumatra lebih
kurang 10 km ke arah barat, dengan topografi perbukitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar